“Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di Sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?” demikian kata Yesus.
Ketika Yesus hidup dan berkarya di dunia ini. Ia hidup di alam penjajahan Romawi yang telah lama berada di situ. Suatu penjajahan yang telah membuat masyarakat Yahudi menjadi miskin dan bodoh. Masyarakat Yahudi juga berada di bawah aturan-aturan agama yang ketat, yang dibuat oleh para pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Tetapi semua itu tidak menjadikan penghalang bagi Yesus untuk menikmati kemerdekaan.
Memang secara fisik, Yesus menjadi orang terjajah sebagaimana masyarakat Yahudi lainnya. Tetapi Yesus tidak membiarkan jiwanya terjajah. Ajaran-Nya tentang kekuatiran pada rangkaian kotbah di bukit (Matius 6: 25-34) membuktikan bahwa walaupun Ia hidup dalam kemiskinan, walaupun Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Matius 8:20), tetapi Ia tidak membiarkan diri-Nya dikuasai oleh kekuatiran mengenai sandang, pangan, papan atau dalam hal materi. Disadari atau tidak ternyata Yesus telah mengambil contoh yang menarik, yaitu burung dan rumput. Kedua identik dengan kebebasan. Burung bebas beterbangan di udara sedangkan rumput bebas tumbuh dimana saja. Yang jelas, kebebasan yang dimiliki oleh burung dan rumput itulah jiwa yang dimiliki Yesus.
JiwaNya yang tidak ingin dijajah oleh siapapun dan apapun juga tampak jelas ketika pada suatu hari sekumpulan anak kecil datang mendekati Yesus, tetapi para murid melarangnya. Tetapi Yesus berkata, Biarkan anak-anak itu datang pada-Ku & sebab orang-orang itulah yang yang empunya Kerajaan Allah (Mark 10:13-16). Mengapa Yesus membiarkan anak-anak kecil berada di sekitar Dia, bukankah mereka bisa mengganggu Yesus yang sedang mengajar pada saat itu? Yesus membiarkan hal itu karena Yesus mencintai anak-anak. Mengapa mencintai anak-anak? Antara lain karena anak-anak memiliki hati dan pikiran yang merdeka, belum terpolusi oleh apapun. Di mata Yesus anak anak kecil adalah pribadi-pribadi yang tidak terikat dan mengikatkan diri dengan materi, kedudukan, status sosial dsb. Anak kecil adalah pribadi yang tidak memusingkan tentang dirinya dari keluarga pengusaha atau pemulung, keluarga saya termasuk orang terhormat atau bukan, saya tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka tidak mau dikuasai oleh hal-hal semacam itu. Dan pribadi-pribadi anak kecil itulah sebenarnya pengejawantahan pribadi Yesus yang sebenarnya. Yesus tidak pernah membiarkan dirinya dipusingkan oleh hal-hal tersebut.
Yang patut diperhatikan lagi adalah karena Yesus membiarkan jiwa-Nya merdeka, menjadikan Yesus mencintai kemerdedaan, karena itu Ia berusaha memerdekakan orang lain yang tidak merdeka. Seperti ketika mengetahui masyarakat Yahudi yang miskin dibelenggu oleh kekuatiran, Ia segera menemui mereka dan berkata, Janganlah kamu kuatir akan hidupmu & (Matius 6:25). Dimata Yesus, orang yang miskin akan merasa dirinya semaki miskin jika jiwanya dibelenggu oleh berbagai macam kekuatiran. Sebaliknya orang miskin akan bisa hidup dalam sukacita apabila jiwanya tidak dikuasai oleh berbagai kekuatiran tersebut.
Ketika ada orang bertanya tentang berapa kali mereka harus mengampuni sesamanya yang bersalah? Yesus menjawab tujuh puluh kali tujuh kali (Matius 18: 21-22). Kok sebanyak itu ? Ia ingin agar dengan cara semacam itu hati dan pikiran orang yang mengampuni menjadi merdeka dan tidak lagi dikuasai oleh dendam dan sakit hati.
Setelah bangkit, Yesus mengadakan pertemuan secara pribadi dengan Simon Petrus. Ia sengaja melakukan hal itu karena Ia tahu persis hati dan pikiran Simon Petrus sedang tidak merdeka, ia dibelenggu oleh perasaan bersalah yang sangat mendalam karena menghianati Yesus. Tentunya hidup dengan beban perasaan bersalah yang mendalam tersebut akan sangat menyiksa Simon Petrus. Karena itu, Yesus ingin membebaskan Simon Petrus dari dari belenggu itu melalui pertemuan itu. Dan pembebasan tersebut hasilnya sangat luar biasa, Simon Petrus menjadi salah satu rasul Tuhan yang memiliki dedikasi yang amat mengagumkan.
Yesus adalah pribadi yang tidak menghendaki satu orangpun binasa, Ia ingin setiap orang beroleh hidup kekal dan berkelimpahan. Walaupun demikian, karena Yesus sangat mencintai kebebasan, maka Iapun tidak pernah mamaksa orang untuk percaya kepada Dia. Ia tahu ketika Yudas sedang bergumul memilih Dia atau uang sebanyak 30 keping perak, Yudas sempat mengalami kebingungan. Tetapi Yesus tidak memaksa Yudas harus memilih Dia. Ia berikan kebebasan penuh kepada Yudas untuk memilih, dan ternyata Yudas memilih yang keliru.
Tetapi walaupun Yesus membiarkan jiwanya merdeka dan cinta kemerdekaan, Ia tetap tunduk dan hormat kepada Bapa-Nya. Tunduk disini bukan karena Ia merasa dipaksa untuk tunduk, atau alasan lain, tetapi karena Ia teramat mengasihi Bapa-Nya. Untuk itu setiap perintah Bapa-Nya tidak pernah ia terima sebagai beban, melainkan Ia terima dengan penuh sukacita dan Ia lakukan dengan sukarela sebagai wujud kasih kepada Bapa-Nya.
Kita hidup di negara yang telah 61 tahun merdeka. Apakah kita telah benar-benar merasakan dan menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya? Setiap kita tentu mempunyai pendapat masing-masing. Tetapi apa yang dilakukan Yesus saat itu, yaitu tidak membiarkan jiwa-Nya terjajah oleh apapun dan siapapun, berharga sekali untuk kita jadikan perenungan. Apalagi Yesus tidak hanya memberikan contoh bagaimana caranya agar memiliki jiwa yang merdeka, tetapi Yesus mengatakan bahwa barang siapa ada didalam Dia akan beroleh kemerdekaan yang sejati. Ia pernah berkata demikian, Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barang siapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang ,mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab sudah pindah dari maut ke dalam hidup(Yohanes 5:24).
Dan Paulus telah membuktikan hal itu. Ia semula dikenal sebagai seorang anak muda yang ambisius, yang ingin menjadi orang yang berpengaruh ditengah masyarakat, setelah bertemu dengan Yesus, keinginan tersebut tidak lagi tumbuh di dalam dirinya. Pengenalannya terhadap Yesus yang tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan melainkan melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:6,7), telah mengubah pandangan hidupnya. Ia semakin mengerti bahwa nama yang harum justru didapat dengan kerendahan hati dan bukan melalui cara-cara yang selama ini ia lakukan.
Demikian pula, Paulus merasa nyaman-nyaman saja walau penyakit menggerogoti tubuhnya, atau penderitaan selalu ia hadapi (2 Korintus 12:7-10). Tetapi ia justru mengajar jemaat Tuhan untuk senantiasa bersukacita dan tidak mengkuatirkan akan segala hal (Filipi 4:4-7). Mengapa Paulus bersikap demikian? Karena ia tidak membiarkan jiwanya dikuasai oleh kekuatiran akan berbagai hal termasuk penyakit yang dideritanya. Demikian pula ia tidak lagi mengkhawatirkan akan kehidupan setelah kematian kelak. Ia berkata, Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Filipi 1:21). Itu semua bisa terjadi karena percaya bahwa hanya didalam Kristus setiap orang beroleh kemardekaan sejati.
Selamat menikmati kemerdejaan bersama dan didalam Kristus.
{oleh : Pdt Efrayim Pangripto W, STh.}
*Dimuat dalam Majalah Kasih edisi 7 (JULI-SEPTEMBER 2006)