Logo

SEBERAPA MENDERITA SIH KENA LONG COVID

SEBERAPA MENDERITA SIH KENA LONG COVID

                  World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Omicron adalah subvariant dari virus Covid-19 yang sekarang mendominasi hampir seluruh kasus covid-19 di berbagai belahan dunia. Berbagai negara menerapkan kebijakan berbeda dalam menangani sub-variant ini. Kebanyakan negara Eropa termasuk juga Indonesia menerapkan kebijakan "Gas-Rem" dan "Pelonggaran" yang semakin mendominasi, namun China tetap bertahan dengan kebijakan "Zero Covid Strategy". Negara yang melonggarkan cenderung melihat Omicron ini adalah sub-variant yang lebih ringan dan tidak semengerikan varian pendahulunya yaitu Alpha dan Delta. Namun, China tetap melihat dan mewanti-wanti agar warga negaranya tidak mengganggap remeh Omicron ini, dikarenakan masih minimnya pengetahuan para ahli untuk dampak jangka panjang dari Omicron ini, demikian ungkap Dr. Hary Pribadi, spesialis Jantung dan pembulung Darah (Sp.JP). Lebih lanjut dr. Hari Pribadi memaparkan fenomena “Long Covid” ini bagi kita.

                Fenomena pasien yang terkena Covid-19 dan tetap mengeluhkan beberapa gejala setelah test PCR menunjukan hasil negatif dinamakan "Long Covid Syndrome". Disebut sebuah sindroma karena merupakan kumpulan gejala-gejala yang sangat beragam hingga tulisan ini dibuat. Beberapa studi kasus menyatakan bahwa secara epidemiologi penderita "Long Covid Syndrome" ini diperkirakan mencapai jutaan orang di seluruh dunia saat ini. Diperkirakan 10-30% populasi manusia yang sudah terkena Covid-19 kini menderita Long Covid Syndrome. Beberapa gejala yang dominan dikeluhkan adalah penurunan fungsi cognitif (bahasa gaulnya : lemot), mudah lelah, sesak, dan berdebar.

                Peneliti dan dokter masih mengamati "misteri" dan mekanisme dari Long Covid Syndrome ini. Berapa lamakah tubuh akan berespon seperti ini, dan mengapa hanya beberapa orang tertentu yang mengalami hal tersebut. Semakin banyaknya pasien yang mengeluhkan hal ini setelah hampir 3 tahun pandemi Covid-19 berlangsung, membuka jalan bagi para peneliti untuk lebih mengerti mengenai hal apa saja yang dapat terjadi paska paparan virus Covid-19.

                Beberapa teori yang saat ini diperkirakan oleh para ilmuwan adalah "reaksi radang berkepanjangan". Ketika virus masuk ke dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh akan masuk dalam fase "berperang" untuk "menghajar" virus-virus ini. Para tentara di tubuh kita akan membuat suasana "radang" yang memudahkan mereka dalam berperang melawan virus tersebut. Akan tetapi beberapa manusia terus mengalami kondisi "berperang" ini bahkan setelah virus-virus tersebut tidak ada sama sekali dalam tubuh manusia. Kondisi ini membuat dampak berkepanjangan terutama pada dinding pembuluh darah dan pemakaian oksigen di dalam tubuh. Dari teori inilah kemudian dapat dijelaskan mengapa gejala yang timbul pada "Long Covid Syndrome" merupakan gejala sistemik yang dapat mengenai berbagai macam organ dalam tubuh manusia.

                Beberapa penelitan terbaru mengatakan bahwa beberapa pasien yang mengalami Long Covid Syndrome memiliki beberapa kesamaan. Hal ini dapat dipakai bagi para klinisi untuk memperkirakan pasien mana saja yang kemungkinan akan mengalami Long Covid Syndrome di masa mendatang. Beberapa hal tersebut adalah tingginya angka "viral load" saat awal infeksi, munculnya "autoantibody" yang dapat diperiksa melalui marker profil rheumatoid atau lupus, adanya infeksi tambahan (co-infection) dengan virus Epstein-Barr, faktor komorbid yang tidak terkontrol pada pasien diabetes melitus, gagal jantung, serta pasien dengan kondisi kritis yang berhasil sembuh dari Covid-19.

                                Adanya vaksin, digadang-gadang dapat mengurangi risiko kita terkena Long Covid Syndrome. Beberapa studi menemukan hal ini benar adanya, dikarenakan vaksin menurunkan risiko perburukan gejala saat seseorang terkena covid-19 sehingga secara teoritis respon perang yang terjadi dalam tubuh tidak akan terlalu mendominasi. Namun beberapa studi terkini menunjukan orang yang sudah divaksin pun dapat mengalami Long Covid Syndrome dikarenakan beberapa varian baru dapat mencetuskan terjadinya "Breakthrough infection" yaitu infeksi yang tetap terjadi walau individu tersebut sudah divaksin.

                Lalu apa saja sih gejala Long Covid Syndrome sehingga ketika hal ini terjadi, anda harus mencari waktu untuk berkonsultasi dengan dokter anda?

  1. Sistem Saraf

                Beberapa pasien mengeluhkan sulitnya berpikir fokus dan berkonsentrasi seperti saat mereka belum terkena Covid-19. Timbulnya penurunan daya ingat dalam jangka pendek dan jangka panjang, kesulitan dalam menjelaskan suatu hal dalam perbincangan sederhana. Hal ini bahkan saking ekstrimnya membuat beberapa pasien harus menulis memo agar dapat mengingat hal-hal sederhana yang harusnya dapat mereka lakukan sehari-hari. Beberapa pasien mengeluhkan nyeri kepala berkepanjangan, hingga membuat mereka tidak bisa terlepas berbulan-bulan dari pereda nyeri kepala. Beberapa pasien mengeluhkan gangguan indera pengecap dan penciuman dalam jangka panjang yang disebut parosmia. Hal ini menurunkan nafsu makan mereka hingga membuat berat badan mereka turun drastis bahkan mengalami malnutrisi.

  1. Sistem Kekebalan Tubuh

                Peneliti menyebutkan bahwa Long Covid Syndrome mendisrupsi sistem imun tubuh manusia. Beberapa teori mengemukakan bahwa fragmen virus Covid-19 akan terbenam pada beberapa jaringan tubuh manusia, yang terbanyak ditemukan pada usus, getah bening, kelenjar tiroid, ovarium bahkan testis dalam tempo waktu berbulan-bulan.

                Hal ini akhirnya membuat tubuh berespon hiperaktif, dan membuat beberapa gejala yang tidak spesifik bermunculan, tergantung pada letak sisa fragmen tersebut terbenam. Akibatnya gejala yang timbul sangat beranekaragam dan sulit untuk memprediksi bahwa gejala tersebut berkaitan dengan infeksi Covid-19 yang terdahulu.

  1. Sistem Jantung dan Pembuluh Darah

                Beberapa pasieng Long Covid Syndrome mengeluh mudah lelah saat beraktivitas, dan penurunan kemampuan fisik bila dibandingkan ketika mereka belum terkena Covid-19. Studi terdahulu menyatakan bahwa terjadinya hal tersebut kemungkinan berkaitan dengan terganggunya aliran oksigen dan kemampuan jaringan mengkonsumsi oksigen. Terdapat sebuah studi yang cukup menarik, dimana pasien yang menderita Long Covid Syndrome diteliti respon aktivitasnya ketika mereka bersepeda. Walaupun mereka memiliki struktur jantung, paru-paru yang sehat dan normal, otot mereka ternyata hanya mampu mengekstrak dan mengkonsumsi oksigen dibawah nilai normal individu seharusnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terganggunya sistem saraf mikrosirkulasi yang disebut small fiber neuropathy. Dari beberapa biopsi ditemukan reaksi peradangan kronis yang terus terjadi pada small nerve fiber ini. Hal ini akan mengakibatkan dysautonomia yaitu terganggunya mekanisme sistem regulasi keseimbangan dari ekstraksi oksigen dan sistem saraf otonom yang mengatur detak jantung, pernapasan, serta pencernaan yang seharusnya berjalan secara otomatis.

           Gangguan irama jantung juga sering terjadi yang dinamakan inapropiate sinus takikardi dan Paroxysmal Orthostatic Tachycardia Syndrome. Gejala khasnya adalah detak jantung yang tiba-tiba meningkat drastis dan keluhan berdebar-debar yang tidak nyaman bagi para pasien. Keluhan ini biasa timbul kapan saja, namun tersering timbul saat beberapa orang sudah terduduk lama dan berdiri mendadak. Beberapa pekerja kantoran yang terkena Covid-19 sering sekali mengeluhkan hal ini. Dengan adanya teknologi smart watch terkadang mereka baru menyadari hal ini dikarenakan detak jantung nya yang biasa hanya di 60-80 mendadak meningkat hingga mencapai 120-140x/menit diikuti dengan rasa tidak nyaman di dada. Beberapa pasien cenderung akan memeriksakan dirinya ke dokter jantung, namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih dalam, tidak ditemukan gangguan struktur jantung maupun hal lainnya yang mengancam nyawa.

        Penting halnya bagi pasien yang mengalami keluhan berdebar seperti ini untuk memeriksakan diri ke dokter, dikarenakan gangguan irama jantung yang terjadi bisa saja yang bersifat lebih berbahaya dan mengakibatkan masalah serius.

  1. Sistem Pernapasan

                Mudah sesak napas saat beraktivitas berat lazim dikemukakan oleh para penderita Long Covid Syndrome, walaupun hasil pemeriksaan radiologi, CT-scan bahkan test fungsi paru seperti spirometri menunjukan hasil normal. Para peneliti di Inggris memakai teknik pencitraan Magnetic Resonance Imaging dan menemukan bahwa terdapat kerusakan mikro pada jaringan paru-paru. Hal ini yang ditenggarai mengakibatkan para pasien mengalami inefektivitas dalam pengambilan oksigen dari udara bebas seperti hal nya orang normal. Namun dengan dilakukannya rehabilitasi medik dan pemberian pengobatan hal ini dapat mengalami perbaikan dan kompensasi oleh jaringan paru di sekitarnya.

          Karena keberagaman dari sistem yang dapat terkena Long Covid Syndrome ini, beberapa dokter dahulu mengganggapnya sebagai keluhan psikosomatis saja, alias hanya timbul karena kegelisahan pasien saja yang akhirnya membuat para pasien tidak mendapatkan penanganan yang cukup baik. Beberapa institusi di luar negeri kini membuat suatu peer-group atau kelompok kecil baik melalui medsos maupun tatap muka agar para penderita "Long Covid Syndrome" ini dapat saling berbagi dan saling memberikan support satu sama lain hingga berbagi tips agar cepat sembuh dari sindroma ini.

Oleh : dr. Hary Pribadi, Sp.JP

Tentang Penulis

Dedy

luck life

Prev HARTA YANG BERHARGA
Next HUT KE 17 TAHUN MAJALAH KASIH

Tinggalkan Komentar