Logo

BUKA MATA, BUKA HATI

BUKA MATA, BUKA HATI

 “Alhamdullilah.....”
    Kata-kata sederhana yang bermakna suatu ucapan syukur itu terucap saat ujung kanul trakeostomi akhirnya berhasil masuk ke leher seorang pasien laki-laki, 62 tahun dengan diagnosis infark miokard akut luas dan gagal nafas, telah dalam penanganan ventilator selama 7 hari. Sebagai gambaran, sang pasien ini beratnya ± 80 kilogram dengan postur leher pendek dan tebal, sehingga saat dilakukan sayatan, demi sayatan di leher pasien ini, dokter W, Sp.THT ini mengalami cukup kesulitan. Perlahan demi  perlahan, dengan berbagai perdarahan dan kontrol perdarahan yang dilalui akhirnya ujung kanul trakeostomi itu berhasil masuk dan bersamaan dengan itu kanul ET nya di lepas, respon oksigen positif, dan kanul trakeostomi berhasil.
    Mengagumkan, .......meskipun waktu itu saya hanya sebagai pengamat dan mengikuti jalannya proses operasi ini di ruang operasi, namun cukup membuat saya berdebar-debar. Ternyata Tuhan itu baik dan luar biasa, Ia bisa memakai semua orang,  untuk kemuliaan karyaNya dalam menolong sesama.
    ”Tuhan itu baik pada semua orang”, bila saya mengutip dari tema Perayaan Natal Bersama Tingkat Nasional, Tahun 2009. Pada waktu itu Presiden SBY memberikan sambutan pada acara natal kenegaraan. Beliau menyampaikan bahwa tema tersebut sangat tepat dan inspiratif, dan tema tersebut menunjukkan kasih Tuhan kepada seluruh umat manusia, agar kita dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera. Terlebih juga untuk selalu memperkuat semangat persaudaraan, solidaritas, dan kemitraan di antara umat manusia.
    Tidak dipungkiri bahwa manusia hidup selalu mencari kesamaan dengan sesamanya. Dan itu terwujud dalam kesamaan hobby, ideologi, karakter, pekerjaan budaya, asal usul, bahkan agama. Sehingga muncullah komunitas-komunitas tertentu baik dalam bentuk informal maupun formal. Biasanya kesamaan informal terwujud dalam bentuk komunitas hobby / kesenangan. Sedangkan kesamaan formal terwujud dalam bentuk pekerjan, agama, maupun ideologi dan lain-lainnya. Kesamaan-kesamaan inilah yang terkadang membuat mata dan pikiran kita tidak bisa bertindak secara adil.
    Kalau bukan orang anu, maka.......; kalau bukan agama anu, maka........;.kalau bukan suku anu, maka..... Mungkin itu adalah sepenggal pendapat dari golongan-golongan tertentu yang memihak pada satu sisi kesamaan yang ia cari. Sehingga ia tidak bisa melihat lagi akan objektivitas di sekelilingnya. Objektivitas terhadap orang lain terdapat di berbagai bidang, baik di pekerjaan, sosial, sekolah, bahkan keagamaan.
Begitu sulitkah kita untuk bersikap adil dan ”fair” terhadap sekeliling kita, padahal kita hidup di tengah negara yang majemuk, dengan berbagai suku, ras, agama, dengan berbagai bahasa warna kulit, bentuk mata yang berbeda-beda. Apakah selama ini kita berteman dan bekerja selalu dibungkus dalam satu wadah ”satu suku”, ”satu agama”, ”satu ideologi”, sehingga bila ada orang-orang yang ”berbeda” dengan kita, maka mereka akan segera disisihkan? Sebaliknya adakah jaminan apabila rekan sekerja kita yang satu golongan dengan pemahaman kita pasti baik semua ?
    Terkadang kita sering terbawa oleh ideologi kita bahwa golongan kita yang paling benar, agama kita yang paling benar, sehingga kita akan memiliki pikiran yang sempit di dalam memandang sekeliling kita di dunia ini. Padahal kita hidup di masyarakat yang majemuk, bahwa setiap agama pasti mengajarkan akan suatu kebaikan, setiap suku, setiap ras memiliki keunikan nya sendiri ?
    Mantan Presiden Sukarno (almarhum) pun pernah menekankan betapa pentingnya suatu persatuan di tengah bangsa. Dengan cara beliau tidak pernah memakai pakaian adat daerah. Ia selalu berpakaian rapi dan memakai peci hitam. Suatu saat di kesempatan santai, salah seorang ajudannya, Bambang Widjanarko, di tahun 1964 pernah menanyakan hal itu, dan Bung Karno pun menjawab, ”Baik resmi atau tidak resmi, siang ataupun malam. Aku ini tetap Presiden Indonesia, bukan Presidennya orang Jawa saja. Selama aku jadi Presiden seluruh mata bangsa Indonesia selalu melihat dan memperhatikanku, termasuk pakaian yang aku pakai. Untuk Presiden atau menteri seyogyanya tidak berpakaian daerah, karena mereka adalah pemimpin-pemimpin seluruh Indonesia. Nanti kalau sudah tidak menjabat lagi, barulah bebas boleh berpakaian apa yang ia senangi.”
    Mari kita buka mata, buka hati dan genggam tangan sesama kita dengan hangat. Membuka mata hati kita dengan lebar memang tidak mudah. Membutuhkan jiwa besar dan kerendahan hati untuk bisa menerima dan bekerja sama dengan rekan sesama kita yang majemuk.

 

{Oleh : dr. Panji Aryo Prabowo, Sp.PD, M. Kes }

*Dimuat dalam Majalah Kasih Edisi 25 ( JANUARI - MARET 2011 )

Tentang Penulis

Patricia Putri

patricia putri

Prev HIDUP UNTUK BERIBADAH
Next KENALI KOLESTEROL ANDA

Tinggalkan Komentar